SELAMAT DATANG DI GUBUK KAMI


Sekali waktu di bulan Agustus 2010, saya mampir dan mengunjungi Pastor Ernst Waser, SVD, seorang misionaris Swiss yang bertugas di Paroki Wangkung, Keuskupan Ruteng, Manggarai - Flores. Tatkala berpamitan dengan beliau, pastor yang sederhana ini berjabatan tangan dengan saya sambil berucap, "Engkau anak petani, saya juga anak petani. Jangan pernah engkau tinggalkan mereka dan mari kita bersama membangun petani!"


Kami memang berbincang tentang petani, anak petani, kursus pertanian dan pendidikan petani. Tentu tak sekedar mengobrol tentang karya yang satu ini. Tapi saya melihatnya sebagai karya yang sungguh vital dalam karya Gereja. Bicara tentang pertanian, kita sentuh tentang soal pangan. Dan tanpa pangan tak ada kehidupan. Gereja sendiri mendasarkan kehidupannya pada PANGAN ABADI, EKARISTI. Yesus Kristus yang memberikan diri dan hidupNya sebagai sumber pangan abadi manusia inilah yang meminta kita untuk berpihak dengan petani dan karya pertanian.


GUBUK PASTOR TANI ini kami harap menjadi tempat beristirahat sejenak, untuk berbincang bersama petani, dan menggali sumber kekuatan karya ibu kehidupan ini dari Sumbernya yang pertama, Allah sendiri.
Selamat datang ke Gubuk kami dan ajaklah sahabatmu mampir sejenak.

Monday, 6 September 2010

3. FORMAT TAHUN PERTANIAN ( KEUSKUPAN PURWOKERTO)

BELA RASA PANGAN
“Menjadi Sahabat Bagi Petani”

A.     Pengantar

Alam merupakan hasil karya Allah dan tempat Allah bekerja. Allah menyelenggarakan kehidupan di alam ini dan tidak ada yang luput dari perhatian-Nya. Alam memelihara kehidupan manusia. Alam menyediakan segala yang diperlukan manusia untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Bahkan harus diakui kehidupan manusia di bumi ini sepenuhnya bergantung pada alam. Manusia dipanggil untuk mengambil bagian dalam memelihara alam. Tanpa pemeliharaan itu, hidup manusia sendiri akan terancam, karena alam merupakan sumber kehidupannya.

Tanah, air, dan bibit tanaman merupakan bagian dari keseluruhan ciptaan yang peruntukannya demi kesejahteraan hidup manusia, seperti yang dimaksudkan oleh Allah sendiri.  Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, budidaya pertanian dilakukan oleh manusia dengan mengolah dan mengelola tanah, air, dan tanaman.  Usaha budidaya pertanian ini menjadi investasi keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia.

Perkembangan jumlah penduduk dan teknologi membawa dampak perubahan dalam usaha budidaya pertanian.   Pertanian tidak lagi dipandang sebagai investasi keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia.  Pertanian menjadi komoditi kegiatan ekonomi.  Perhatian yang berlebihan pada perkembangan ekonomi telah mengabaikan dampaknya bagi lingkungan hidup. Para pelaku pertanian dan ekonomi telah menjalankan kegiatannya dengan dorongan keserakahan, ketidaksabaran, kecerobohan, dan bahkan kebodohan.  Usaha dan budidaya pertanian didorong hanya untuk memenuhi pasar.  Di mana pasar dikuasai oleh pemodal.

Akibatnya, tanah, air dan tanaman sebagai sumber penghidupan pertanian dipandang sebagai faktor produksi yang gratis telah dikuras dan tidak dipelihara.  Tanah diperkosa dengan pemberian bahan-bahan kimia, pengurasan dan pencemaran air, hilangnya bibit atau benih lokal dengan membanjirnya bibit-bibit hibrida atau transgenik, dan keterperukan petani sebagai pengelola pangan oleh tekanan pasar dan keterbatasan pemilikan tanah.

Sebagai citra Allah, manusia adalah rekan kerja Allah dalam memelihara alam semesta. Hubungan manusia dengan seluruh alam merupakan partisipasi dalam hubungan Allah dengan seluruh ciptaan. Manusia harus menyadari bahwa kuasa yang diberikan Allah kepadanya bukanlah kuasa untuk memanipulasi dan mendominasi. Peran Allah dalam mencipta dan memelihara seluruh alam, juga menjadi tugas manusia. Manusia harus membangun kembali alam yang telah rusak dan memelihara kelestariannya.   Atas dasar ini, perhatian dan arah pastoral Gereja Katolik Keuskupan Purwokerto tahun 2010 – 2011 adalah Tahun  Keprihatinan Pertanian.  Bela Rasa Pangan yang terungkap dan terwujud dengan menjadi sahabat bagi petani menjadi tema dan tujuan di Tahun Keprihatinan Pertanian.  Tahun Keprihatinan Pertanian menjadi keberlanjutan Tahun Keprihatinan Kemiskinan yang berakhir pada tanggal 31 Mei 2010.  Karena Petani sebagai pengelola pangan utama dan pertama dalam pertanian, keberadaanya belum diakui.  Mereka dengan segala keterbatasannya dan keterpurukannya masih menjadi orang-orang yang kalah dan terpinggirkan.  Mereka ada dalam rantai kemiskinan yang ada.

B.    Keprihatinan Pertanian Keprihatinan Gereja

1.      Potret Pertanian Dewasa Ini

Ketersediaan sarana produksi pertanian dalam proses pengembangan pangan sudah merupakan tantangan yang paling utama bagi para petani, peternak dan nelayan.  Dalam konteks pertanian, lahan merupakan faktor produksi yang utama, namun unik karena tidak dapat digantikan dalam usaha pertanian. Oleh karena itu, ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan syarat keharusan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan secara nasional. Di sisi lain, secara filosofis lahan memiliki peran dan fungsi sentral bagi masyarakat Indonesia yang bercorak agraris, karena disamping memiliki nilai ekonomis, lahan juga memiliki nilai sosial dan bahkan religius.
Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah tingginya tekanan terhadap lahan. Dengan peningkatan jumlah penduduk yang masih sekitar 1,34% per-tahun, sementara luas lahan yang ada relatif tetap, telah menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air terutama di Jawa. Sebagai gambaran, luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003, dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,4% per-tahun.  Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyebutkan bahwa lahan pertanian yang tersedia untuk dikembangkan di Jawa tengah seluas 30.922 ha. Sekitar 20.654 ha (66,8%) diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan, 8.966 ha (29,0%) untuk komoditas tanaman semusim, dan  1.302 ha (4,2%) untuk padi sawah. Tidak seimbangnya antara luas lahan dengan jumlah petani yang banyak akan mengakibatkan penurunan produktiftas pertanian

Selain makin menyempitnya rata-rata penguasaan lahan oleh petani, terjadi juga persaingan yang tidak seimbang dalam penggunaan lahan, terutama antara sektor pertanian dan non-pertanian. Dalam keadaan seperti ini, bila hanya berpatokan pada nilai ekonomi sewa lahan (land rent economics), maka pertanian akan selalu dikalahkan oleh peruntukan lain seperti industri dan perumahan. Hal itu terlihat dari makin meningkatnya laju besaran konversi atau alih fungsi lahan pertanian dari tahun ke tahun. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 diperkirakan  mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun.

Ketidakseimbangan dalam regulasi turut menempatkan “sumber daya pangan” dalam keadaan yang memprihatinkan. Sudah diketahui umum bahwa kalau produk pertanian melimpah harga akan turun. Situasi ini sangat sulit diatasi karena memang petani tidak mampu memilih produk pertanian sehingga masuk akal kalau harga sering dipermainkan atau sangat tergantung pada tengkulak atau pedagang. Lebih-lebih di tingkat petani tidak memiliki kemampuan memperoleh informasi pasar sehingga soal harga sangat  tidak wajar, fluktuatif,  bergantung pada pedagang dan tengkulak

Revolusi Hijau diterapkan (Program BIMAS, INMAS, SUPRA INSUS dan lain sebagainya) dengan untung dan kerugiannya, kita semua bisa menilainya sendiri. Banyak para petani yang sudah kehilangan kearifan budidaya pertanian organik, warisan para leluhur. Bidang pertanian dipacu ke arah agribisnis untuk mengejar ekspor dan mendapatkan dollar dari pasaran dunia. Swasembada beras digalakkan demi stabilitas nasional yang memberi kondisi sebaik mungkin bagi perkembangan industri. Akibatnya para petani kehilangan kemandirian dalam usaha taninya. Sebagai produsen mereka mensubsidi ekonomi nasional, sebagai konsumen tidak ada yang mensubsidi. Petani semakin tergantung dari faktor-faktor luar, sebagai konsumen industri benih, pupuk dan lain sebagainya. Akibatnya bumi semakin dibunuh, pencemaran di mana-mana, benih kuam tani menjadi punah, sedangkan benih dari industri benih transnasional menikmati monopoli (bibit-bibit IR : IR5, IR8, ….IR 33, IR 64, dst). Pengetrapan Revolusi Hijau ternyata telah menghancurkan budaya pedesaan, namun demikian praktek Revolusi Hijau masih berkelanjutan dengan akibat pembunuhan bumi dan kaum tani.

2.      Pastoral Pertanian Gereja

Dunia pertanian, yang bagi masyarakat menyediakan hasil bumi yang dibutuhkan sebagai rezeki sehari-hari, sungguh penting sekali. Kerja bercocok tanam menghadapi kesukaran-kesukaran yang cukup berat, termasuk usaha fisik tiada hentinya dan kadang sungguh melelahkan, lagipula kurang dihargai dari pihak masyarakat, sehingga menyebabkan kaum petani merasa diri tersisihkan dari masyarakat, dan mempercepat kendala perpindahan massal dari daerah pedesaan ke kota-kota dan yang patut disayangkan, menimbulkan kondisi-kondisi hidup yang justru makin kurang manusiawi. Di negeri-negeri tertentu yang sedang berkembang jutaan penduduk terpaksa mengolah tanah milik orang lain, dan dihisap oleh tuan-tuan tanah yang besar, tanpa harapan sama sekali akan mendapat tanah sejengkalpun bagi diri mereka sendiri. Tidak ada bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi kaum buruh petani sendiri dan keluarga mereka bila sudah lanjut usia, sakit atau menganggur. Berhari-hari kerja keras fisik dibayar dengan upah yang sangat menyedihkan. Jadi perlulah menyiarkan dan memajukan martabat kerja, semua kerja tetapi khususnya kerja bercocok tanam. Sebab di situlah manusia dengan begitu jelas mengelola bumi yang diterimanya sebagai karunia Allah dan menegaskan kedaulatannya dalam dunia yang kelihatan (Laboren Exercens art 21).

Dalam dunia pertanian manusia menanam dan menyiram tanaman, namun Allahlah yang memberikan pertumbuhan (1Kor. 3:7). Kehidupan di alam ini bergantung semata-mata pada kemurahan hati Allah. Dalam kemurahan-Nya Ia mengasihi semua orang dan alam semesta adalah bukti kemurahan hati-Nya. Gereja yang dipanggil untuk meneruskan kebaikan dan kasih Allah kepada umat manusia sadar bahwa menyelamatkan umat manusia dari kehancuran bumi adalah pelaksanaan perintah cintakasih (Bdk. Yohanes 13:34-35).   Dalam ensikliknya yang pertama, Redemptor Hominis (Art.15 dan 16) Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa kepedulian terhadap lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan adalah bagian hakiki dari Ajaran Sosial Gereja. Nota Pastoral KWI 2005, SAGKI 2005 dan APP 2008 mendorong seluruh umat dan semua pihak untuk menghadapi masalah lingkungan hidup dengan tindakan nyata. Kepedulian Gereja tidak terbatas pada himbauan dan arahan, tetapi juga dalam tindakan nyata dari Gereja setempat.  “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kekcemasan para murid Kristus juga” (GS. art.1).  Oleh karena itu, kehadiran Gereja ditengah-tengah umat manusia yang menderita ketidakadilan dan ancaman terhadap keutuhan ciptaan menjadi sangat nyata.

Gereja perlu menyadari bahwa kehadiran penyadaran kemanusiaan dalam hal tata kelola pertanian bukanlah pertama-tama persoalan teknis, tetapi bagaimana menyadarkan umat bersama masyarakat menemukan dan menata kembali pemanfaatan alam semesta yang berkeadilan sosial dan berkeutuhan ciptaan sehingga menjadi bermanfaat bagi peningkatan hidup manusia, yaitu terlepas dari kemiskinan, dan pada gilirannya mengembangkan kemampuan bertani dan pertanian yang berdaulat di tengah masyarakat.

Pastoral pertanian Gereja adalah bagian dari perwujudan iman dalam menyadarkan umat bersama masyarakat setempat untuk menghargai, menghormati dan memuliakan keutuhan ciptaan dengan menumbuhkan dan mengembangkan tindakan yang arif, cinta kasih dan berkeadilan terhadap manusia, tanah, air, dan makhluk hidup lainnya. Karena seluruh alam semesta adalah saudara dalam satu pencipta.

3.      Belarasa Pangan

 Hasil akhir dari tata kelola bertani dan pertanian adalah hasil pangan.  Pangan yang sehat dihasilkan dari sumber-sumber pangan (tanah, air, benih/bibit) yang sehat.  Ketersediaan sumber-sumber pangan yang sehat sangat tergantung dari sikap dan tindakan pelaku pangan, yaitu manusia.  Manusia yang beragama dan beriman dengan baik akan mewujudkannya dalam penghormatan, penghargaan dan pemuliaan sumber-sumber pangan.

Gereja Katolik sangat berdekatan dan bersentuhan dengan pangan.  Ekaristi adalah “Pangan Abadi”.  Yesus Kristus merelakan dan menyediakan diri-Nya menjadi sumber pangan abadi bagi manusia (bdk. Yoh, 6,51).  Dengan ikut ambil bagian dalam perayaan Ekaristi secara aktif, kebersamaan dan kebersatuan dengan Yesus Kristus terjadi.  Yesus menjadi santapan abadi yang menyelamatkan hidup manusia.  Keselamatan ini akan terjadi dalam hidup manusia, sejauh manusia juga bersikap dan bertindak seperti Yesus Kristus yang telah berbelarasa dan berbagi menjadi pangan bagi manusia (bdk. Luk 22, 19-20).

Belarasa pangan yang dapat diwujudkan oleh manusia dalam tata kelola bertani dan pertanian adalah dengan mengembangkan sikap dan tindakan hormat, menghargai, dan memuliakan terhadap sumber-sumber pangan, yaitu dengan tidak memberi asupan kimia kedalam tanah, membantu mengembangkan kesejahteraan hidup petani, tidak mencemari air, menggunakan bibit-bibit lokal yang ramah lingkungan, berperilaku adil terhadap petani dan alam ciptaan demi keberlangsungan keutuhan ciptaan dan kesejahteraan hidup bersama.  Sepanjang sejarah kehidupan manusia di bumi, kehidupan manusia ditopang oleh pengolahan tanah. Hingga zaman modern pun pengolahan tanah sebagai sumber kehidupan tidak dapat diabaikan. Hasil tanaman, yang menjadi sumber kehidupan manusia, bergantung pada jenis tanah. Sekalipun pemupukan membantu menyuburkan tanah, keadaan tanah sepenuhnya mempengaruhi tumbuhnya tanaman, dan hasilnya pun bergantung sepenuhnya pada keadaan tanah. Jika orang ingin tetap mendapatkan hasil tanah, tidak ada pilihan lain selain menjaga keadaan tanah agar tetap subur (bdk. Mark 4,8).

No comments:

Post a Comment