Catatan:
Tulisan ini disajikan pada Acara BERANDA ROHANI di Radio Sonya FM Maumere, pd Minggu 03 April 2011, jam 18.00-20.00 WITA.
Pengantar – Pilihan untuk Menghidupkan Komitmen Misioner akan Eco-Pastoral.
Baru sebulan yang lalu, tepatnya 1 Maret 2011, dalam diam dan dinginnya Mataloko di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, bersama sekelompok orang yang setia menjabarkan semua rencana dan cita-cita untuk mengembangkan pertanian organik, saya memberkati peternakan babi serta taman tani lestari, dalam sebuah upacara sabda yang hikmad, dalam suasana inkulturasi yang kental. Nama yang diberikan kepada upaya ini sudah ada sejak 10 tahun silam, “SESAWI” – berinspirasi pada nama tumbuhan yang bijinya paling kecil di antara semua jenis pohon, dalam perumpamaan Yesus tentang Kerajaan Allah. Taman Tani Lestari Sesawi – itulah nama kegiatan yang adalah satu gerakan dan komitmen untuk mengembangkan pertanian organik – salah satu pola pertanian yang peduli lingkungan, menyehatkan dan sebenarnya murah biayanya.
Tetangga di sekitar tempat itu bilang, “Pastor ini urus bisnis bersama keluarganya”, dan saya tidak balas kata mereka. Berulangkali saya bilang kepada mereka yang bekerja bersama saya, “Saya buat ini bukan untuk menyaingi apa yang orang buat. Tapi yang kita kerjakan ini adalah langkah untuk menghidupkan kembali semangat para misionaris yang dikuburkan di tengah kita, yang memilih pertanian sebagai satu pendekatan pastoral yang menyapa umatnya, karena petanilah yang paling sering kita jumpai dalam pelayanan pastoral kita dan dari pertanianlah kita hidup. Dalam kenangan akan mereka seperti Pater Hubertus Hermens SVD, Pater Herman Scholte SVD, Pater Mommerstag SVD, Pater Ben Baack SVD inilah, saya coba menghidupkan pilihan pastoral yang peduli lingkungan hidup, “Eco-Pastoral” – mulai dari sawah, kebun, kandang hewan, tambak ikan hingga kepada ruang kuliah serta berbagai pertemuan. Pastoral dengan pemikiran seperti ini memang harus dikembangkan sekarang ini, karena paham kita sekarang tentang keselamatan, bukan hanya menyangkut keselamatan jiwa dan keselamatan rohaniah, tetapi keselamatan yang menyangkut jiwa dan raga, menyangkut manusia maupun alam di mana dia berada.
Karena itu karya pastoral kita yang lebih tepat sasar dewasa ini sebenarnya harus ditunjukkan juga melalui perhatian pastoral yang lebih seimbang dan tak terpisahkan antara pelayanan kepada manusia dan juga pelayanan kpada alam lingkungan hidup. Eco-pastoral mencoba untuk menghidupkan komitmen untuk membina hubungan baik antara manusia, hubungan baik antara manusia dengan alam lingkungannya sesuai dengan maksud Allah yang telah menciptakannya. Ini adalah sebuah pilihan dalam karya pastoral Gereja, karena kita sebagai Gereja sadar akan kedosaan kita dan ingin ditebus dari dosa itu. Dan penebusan dan keselamatan yang demikian, harus memperhatikan konteks pastoral. Kalau mau selamat bukan hanya di masa yang akan datang, tetapi selamat di dunia ini, kita mesti mampu menilai, menghargai dan memperlakukan sesama ciptaan baik manusia maupun alam sebagai lingkungan hidupnya yang wajar.
Jadi peduli dengan Eco - Pastoral sama artinya dengan peduli dengan keselamatan kita baik keselamatan akhirat maupun keselamatan di dunia ini, untuk manusia dan alam yang menghidupkan manusia itu. Ini pilihan pastoral yang tidak hanya bicara tentang pemeliharaan jiwa-jiwa, tetapi pemeliharaan jiwa dan badan, memperhatikan kesejahteraan jiwa untuk keselamatan eskatologis tetapi juga kesejahteraan badan karena kita masih ada di bumi dengan semua urusannya.
Mengapa Memilih Peduli dengan Pastoral Pertanian?
Menyebut pertanian, saya pikir bukan soal petani semata-mata. Orang-orang yang mengerti tentang pertanian, pasti akan segera menyebut semua sub sektor yang dinaungi oleh pertanian ini, yaitu, pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan secara khusus perikanan air tawar. Semua yang disebutkan ini menghasilkan apa yang kita kenal sebagai pangan, makanan, yang tanpa dia kita semua tak bisa hidup. Jadi sebenarnya memilih sebuah model pastoral terapan di bidang pertanian adalah pilihan untuk memperhatikan secara khusus persoalan pangan dan penyediaannya sebagai satu karya pastoral. Dan kalau saya bilang itu karya pastoral, itu artinya suatu karya kegembalaan, karya untuk memelihara, karya untuk memperhatikan untuk menyelamatkan sesuai dengan Kehendak Tuhan kita sendiri. Karya ini tidak lain adalah upaya kita orang beriman untuk menghadirkan, melanjutkan dan mengembangkan karya Yesus Kristus demi menyelamatkan manusia dan alam lingkungannya. Yesus itu bukan hanya penyelamat manusia, tetapi kita sebut sebagai Raja Semesta Alam, penyelamat manusa dan alam semesta. Jadi kita mesti perhatikan pertanian, karya untuk menyediakan pangan ini sebagai satu karya pastoral, karena Yesus Kristus yang kita imani itu menjadi Roti Hidup, Makanan Abadi, Ekaristi yang menjadi sumber dan puncak hidup Gereja.
Menjadikan pastoral pertanian sebagai sebuah model karya pastoral karenanya hemat saya adalah sebuah pilihan vital yang mesti dikembangkan gereja lokal di wilayah ini, yang telah menghabiskan ratusan juta rupiah untuk berbicara tentang Pastoral Pembebasan dan Pemberdayaan sebagai strategi pastoralnya. Kenapa menjadi pilihan vital? Saya rasa secara mudah kita akan bilang, “Mayoritas umat kita adalah petani, yah … wajar sekali kalau kita menjadikan pastoral pertanian sebagai pilihan yang menyapa mereka.”
Adakah inspirasinya? Dan apa saja yang perlu dilakukan?
Kembali kepada misionaris yang saya sebut tadi, secara khusus Pater Hermens SVD. Saya mengenal dia ketika masih kecil hingga saya frater, merasakan perhatiannya yang begitu besar terhadap pertanian, secara khusus persawahan di wilayah Ngada bagian Selatan, bernama ZaA di kecamatan Golewa. Tentang proyek besar ZaA ini, dia bilang, “Saya punya visi dan rencana besar yang jelas. Saya akan keluarkan uang dari saku orang-orang yang dukung saya dan dari sakunya pemerintah. Saya akan pakai kekuatan kemajuan teknologi bersandingan dengan budaya lokal. Dan bersama dengan umat yang dukung karya ini, saya akan membuat karya besar ini sebagai karya yang berguna, tahan zaman dan dinikmati banyak orang.” Apa yang terjadi kemudian? ZaA menjadi satu karya yang menghidupkan ribuan orang dan bertahan hingga kini. Dan tiada hari, tiada pertemuan, tiada doa yang tidak ingatkan umatnya tentang proyek ini. Bagi Pater Hermens, pertanian adalah metode pastoral yang menyapa umatnya.
Berkisah tentang pilihan seperti dia, saya mau bilang bahwa menjadikan patoral pertanian sebagai pilihan harus mulai dengan visi yang kuat dan jelas. Visi itu berkaitan dengan dasar tindakan: dasar ilmiah, dasar spiritual, rohaniah, dasar pastoral dan dasar budaya. Itulah yang sekarang saya perkenalkan di ruang kuliah, di tempat kursus, di tempat pertemuan, di internet, di radio. Untuk apa? Agar orang tahu, dan melalui sekelompok orang yang punya minat dan keahlian, kita mulai bekerja dan mengembangkannya. Maka di sini kita butuh kader-kader terlatih, terdidik dan yang mencintai bidang ini. Ini sulit tetapi harus dibuat. Dan saya kirimkan anak-anak muda ke Bogor, mungkin nanti ke Bali juga. Saya berkontak dengan orang ahli pertanian, ahli ternak, ahli perikanan. Saya libatkan mereka semua yang hebat dalam bidang ini untuk bantu, dan menjadikan visi ini sebagai kesempatan buat mereka mewujudkan impian mereka.
Cukupkah itu? Tentu saja belum cukup. Langkah berikutnya ialah jelaskan visi ini kepada yang punya uang, mereka yang punya modal, dan mereka yang memutuskan. Kepada siapa? Yah … siapa lagi kalau bukan orang seperti teman, sahabat dan tentu saja pemerintah. Mereka ini punya kuasa, mereka punya uang, mereka punya kepentingan, entah kepentingan bisnis, politik maupun kepentingan jual imij. Kita jelaskan visi ini kepada mereka. Dan minta mereka, beri jaminan kepada mereka agar mereka beri uang mereka.
Hal yang sama juga kita jelaskan kepada lembaga keuangan. Yang ini saya ingatkan saja, dengan bank, kita mesti punya jaminan. Bank tak akan beri modal tanpa jaminan. Dan sialnya di wilayah ini ‘orang miskin’ tak bisa pinjam dari bank, biar mereka bilang bisa atas nama Kredit Usaha Rakyat (KUR), jangan percaya dulu. Mengingat upaya para misionaris di wilayah ini secara khusus pater Ben Baack SVD, saya anjurkan, kalau kita miskin, kita masuk jadi anggota koperasi kredit, CU. Saya sendiri masuk anggota CU Sube Huter di Nita, rajin simpan dan rajin pinjam. Buat apa? Karena ini juga bagian dari konsep eko-pastoral. Saya pinjam dari CU. Saya pernah duduk tiga jam di kantor direktur utama sebuah bank di Flores ini, berdiskusi, dijanjikan pinjaman untuk usaha ternak, tetapi sampai saat ini kredit dimaksud tak pernah keluar. Apa soalnya. Saya kira karena dia anggap bahwa “pastor ini miskin sehingga pasti dia tidak bisa kembalikan pinjamannya. Ia tak punya jaminan".
Berikutnya, uang boleh ada, modal boleh berlimpah, itu tidak akan jalan kalau tak ada teknologi yang mudah diterapkan, teknologi aplikatif. Teknologi dan mesin-mesin, orang ahli dan terlatih, tetapi tetap serasi dengan nilai adat dan budaya setempat serta akrab lingkungan, peduli dengan semua yang ada di sekitarnya. Maka saya kirim orang ikut pelatihan pertanian organik, pelatihan untuk pertanian kultur jaringan (permakultur), pelatihan untuk perikanan, saya kirimkan anak untuk kuliah pertanian, perikanan, dan mereka yang mau magang di teman-teman yang mau bantu. Dan untuk orang sederhana saya datangkan juga orang untuk buat pelatihan di tempat mereka.
Ini semua adalah langkah-langkah yang perlu dibuat, kalau mau kembangkan pastoral pertanian sebagai satu pilihan pastoral di wilayah ini.
Bagaimana eco-pastoral itu bisa dijalankan secara sederhana?
Nama eco-pastoral memang tidak sederhana. Tapi sebenarnya kita bicara hal yang ada di depan mata kita. Saya bicara hal yang sama ini kepada mahasiswa saya. Sederhananya ialah bagaimana kita pikir, kita rencanakan dan kita laksanakan dalam pastoral kita berhubungan dengan tanah atau bumi kita ini? Berhubungan dengan air? Berhubungan dengan hutan dan daerah perlindungan laut? Berhubungan dengan kesadaran lingkungan yang bersih dan sehat, sampah, jalan di paroki, di kota dan desa? Saya punya teman Romo Arkadius Dhosa Pr di Habi sana sudah mulai di sana, besar-besaran pula. Ia masuk kebun jagung, urus air, itulah bentuk konkritnya.
Dalam hubungan dengan pertanian, bagaimana Gereja dalam hal ini fungsionaris pastoralnya masuk kebun, sawah, peternakan, tambak ikan, juga pesisir pantai untuk berpastoral di sana? Jangan sampai pastornya masuk ke sana untuk tagih uang iuran saja dan tak pernah ada di sana untuk memberkati benih, memberkati panen. Kalau memberkati saja tidak, bagaimana bisa harapkan agar fungsionaris pastoralnya beri masukan, undang orang ahli untuk bantu petani, peternak, urus soal hukum dan gerakan massa untuk meminta pemerintah untuk perhatikan petani dan hak-haknya.
Contoh-contoh sederhananya?
Saya beri beberapa contoh sederhana ini: Kalau kita lihat Maumere atau Sikka ini, kelapanya bukan main banyaknya? Tapi coba pergi kunjungi dapur-dapur di sini? Minyak goreng apa yang ada? Pasti bukan minyak kelapa yang digunakan. Yang ada minyak bimoli. Dari apa bimoli dibuat? Kelapa sawit. Adakah kelapa sawit di sini? Tidak ada. Kalaupun ada hanya di depan kantor bupati lama itu. Jadi kita beli minyak bimoli, kita kirim uang yang sudah sedikit di Flores ini kembali ke Jawa, Sumatera, Kalimantan. Saya mulai dengan buat minyak kelapa. Bahannya ada, minyaknya untuk kita pakai sebagai minyak goreng yang sehat, minyak kelapa murni untuk sembuhkan banyak penyakit, dan ampasnya untuk makanan babi yang kadar proteinnya sampai 21 %.
Lain lagi dengan soal sawah untuk tanam padi. Saya ajak teman-teman yang piara ternak seperti ayam, babi, itik untuk tidak membeli beras untuk memenuhi kebutuhan mereka akan makan nasi, tetapi beli padi. Kenapa beli padi. Dengan beli padi, saya promosikan petani untuk usahakan padi sebagai produk pertaniannya. Dari padi, kita jemur lalu kita giling. Berasnya untuk kita jadikan nasi, dedak halusnya untuk makanan ternak dengan kandungan protein 12 %, lalu dedak kasarnya sebagai bahan utama untuk pembuatan pupuk organik. Belum lagi dedak kasar untuk buat batu merah untuk bangunan. Untuk petani sendiri, tanam padi kita padukan dengan ternak, dengan ikan. Batang padi setelah panen, potong dia, masukkan di gudang, buat dia jadi pakan ternak, jadi media kolam ikan. Belum lagi metode tanam padi dengan Sistem Intensifikasi (SRI). Bibit sedikit, air tak butuh banyak, pupuknya pake kotoran hewan, inseksisidanya dari daun-daun setempat, dan tak pusing dengan penyiangan. Belum lagi tentang konsep terpadu mengelola pertanian, peternakan dan perikanan di lahan yang sempit.
Contoh lain, tentang soal sampah. Keuskupan Jakarta itu buat gerakan hidup bersih dan sehat dengan menjadikan soal sampah sebagai pintu masuk pastoralnya. Kita bisa menjadikan juga soal sampah ini sebagai pilihan pastoral. Bagaimana bentuknya? Harus mulai dengan penyadaran tentu saja, lalu diikuti dengan memperlakukan sampah dengan benar demi hidup sehat. Pisahkan sampah organik, metal, plastik dan perbiasakan itu mulai di rumah tangga, di sekolah, di kantor. Buat sticker dan tempel di tempat sampah. Lalu yang organik, olah dia jadi pupuk, jadi makanan ternak, makanan ikan yang pada gilirannya kita nikmati hasilnya. Maka sampah jadi peluang usaha jadinya.
Bisakah ini dijalankan? Ya, pasti bisa, kalau kita ada massa, ada di lapangan. Saya tak bisa buat sebagai satu gerakan yang terlihat orang, karena saya bukan pastor paroki, saya tak punya umat. Lebih celaka lagi, kalau orang seperti kami ini dilihat tak bisa buat banyak karena ada di lembaga pendidikan. Makanya via sekelompok orang muda, dengan bantuan jaringan baik via telpon maupun via internet, saya sebarkan ide ini. Ada di mana? GUBUK PASTOR TANI. Di sana kita bisa bertemu, di sana kita lihat foto kegiatan lapangan yang sederhan, kecil tetapi jadi dan bermanfaat. Seperti SESAWI. Kecil memang, tetapi dalam pertumbuhannya, ia sudah memberi manfaat. Harapan saya tentu saja, kalau ia bisa bertumbuh jadi pohon, akan ada banyak burung, manusia, yang bernaung di sana.
Menjadikan pastoral pertanian sebagai sebuah model karya pastoral karenanya hemat saya adalah sebuah pilihan vital yang mesti dikembangkan gereja lokal di wilayah ini, yang telah menghabiskan ratusan juta rupiah untuk berbicara tentang Pastoral Pembebasan dan Pemberdayaan sebagai strategi pastoralnya. Kenapa menjadi pilihan vital? Saya rasa secara mudah kita akan bilang, “Mayoritas umat kita adalah petani, yah … wajar sekali kalau kita menjadikan pastoral pertanian sebagai pilihan yang menyapa mereka.”
Adakah inspirasinya? Dan apa saja yang perlu dilakukan?
Kembali kepada misionaris yang saya sebut tadi, secara khusus Pater Hermens SVD. Saya mengenal dia ketika masih kecil hingga saya frater, merasakan perhatiannya yang begitu besar terhadap pertanian, secara khusus persawahan di wilayah Ngada bagian Selatan, bernama ZaA di kecamatan Golewa. Tentang proyek besar ZaA ini, dia bilang, “Saya punya visi dan rencana besar yang jelas. Saya akan keluarkan uang dari saku orang-orang yang dukung saya dan dari sakunya pemerintah. Saya akan pakai kekuatan kemajuan teknologi bersandingan dengan budaya lokal. Dan bersama dengan umat yang dukung karya ini, saya akan membuat karya besar ini sebagai karya yang berguna, tahan zaman dan dinikmati banyak orang.” Apa yang terjadi kemudian? ZaA menjadi satu karya yang menghidupkan ribuan orang dan bertahan hingga kini. Dan tiada hari, tiada pertemuan, tiada doa yang tidak ingatkan umatnya tentang proyek ini. Bagi Pater Hermens, pertanian adalah metode pastoral yang menyapa umatnya.
Berkisah tentang pilihan seperti dia, saya mau bilang bahwa menjadikan patoral pertanian sebagai pilihan harus mulai dengan visi yang kuat dan jelas. Visi itu berkaitan dengan dasar tindakan: dasar ilmiah, dasar spiritual, rohaniah, dasar pastoral dan dasar budaya. Itulah yang sekarang saya perkenalkan di ruang kuliah, di tempat kursus, di tempat pertemuan, di internet, di radio. Untuk apa? Agar orang tahu, dan melalui sekelompok orang yang punya minat dan keahlian, kita mulai bekerja dan mengembangkannya. Maka di sini kita butuh kader-kader terlatih, terdidik dan yang mencintai bidang ini. Ini sulit tetapi harus dibuat. Dan saya kirimkan anak-anak muda ke Bogor, mungkin nanti ke Bali juga. Saya berkontak dengan orang ahli pertanian, ahli ternak, ahli perikanan. Saya libatkan mereka semua yang hebat dalam bidang ini untuk bantu, dan menjadikan visi ini sebagai kesempatan buat mereka mewujudkan impian mereka.
Cukupkah itu? Tentu saja belum cukup. Langkah berikutnya ialah jelaskan visi ini kepada yang punya uang, mereka yang punya modal, dan mereka yang memutuskan. Kepada siapa? Yah … siapa lagi kalau bukan orang seperti teman, sahabat dan tentu saja pemerintah. Mereka ini punya kuasa, mereka punya uang, mereka punya kepentingan, entah kepentingan bisnis, politik maupun kepentingan jual imij. Kita jelaskan visi ini kepada mereka. Dan minta mereka, beri jaminan kepada mereka agar mereka beri uang mereka.
Hal yang sama juga kita jelaskan kepada lembaga keuangan. Yang ini saya ingatkan saja, dengan bank, kita mesti punya jaminan. Bank tak akan beri modal tanpa jaminan. Dan sialnya di wilayah ini ‘orang miskin’ tak bisa pinjam dari bank, biar mereka bilang bisa atas nama Kredit Usaha Rakyat (KUR), jangan percaya dulu. Mengingat upaya para misionaris di wilayah ini secara khusus pater Ben Baack SVD, saya anjurkan, kalau kita miskin, kita masuk jadi anggota koperasi kredit, CU. Saya sendiri masuk anggota CU Sube Huter di Nita, rajin simpan dan rajin pinjam. Buat apa? Karena ini juga bagian dari konsep eko-pastoral. Saya pinjam dari CU. Saya pernah duduk tiga jam di kantor direktur utama sebuah bank di Flores ini, berdiskusi, dijanjikan pinjaman untuk usaha ternak, tetapi sampai saat ini kredit dimaksud tak pernah keluar. Apa soalnya. Saya kira karena dia anggap bahwa “pastor ini miskin sehingga pasti dia tidak bisa kembalikan pinjamannya. Ia tak punya jaminan".
Berikutnya, uang boleh ada, modal boleh berlimpah, itu tidak akan jalan kalau tak ada teknologi yang mudah diterapkan, teknologi aplikatif. Teknologi dan mesin-mesin, orang ahli dan terlatih, tetapi tetap serasi dengan nilai adat dan budaya setempat serta akrab lingkungan, peduli dengan semua yang ada di sekitarnya. Maka saya kirim orang ikut pelatihan pertanian organik, pelatihan untuk pertanian kultur jaringan (permakultur), pelatihan untuk perikanan, saya kirimkan anak untuk kuliah pertanian, perikanan, dan mereka yang mau magang di teman-teman yang mau bantu. Dan untuk orang sederhana saya datangkan juga orang untuk buat pelatihan di tempat mereka.
Ini semua adalah langkah-langkah yang perlu dibuat, kalau mau kembangkan pastoral pertanian sebagai satu pilihan pastoral di wilayah ini.
Bagaimana eco-pastoral itu bisa dijalankan secara sederhana?
Nama eco-pastoral memang tidak sederhana. Tapi sebenarnya kita bicara hal yang ada di depan mata kita. Saya bicara hal yang sama ini kepada mahasiswa saya. Sederhananya ialah bagaimana kita pikir, kita rencanakan dan kita laksanakan dalam pastoral kita berhubungan dengan tanah atau bumi kita ini? Berhubungan dengan air? Berhubungan dengan hutan dan daerah perlindungan laut? Berhubungan dengan kesadaran lingkungan yang bersih dan sehat, sampah, jalan di paroki, di kota dan desa? Saya punya teman Romo Arkadius Dhosa Pr di Habi sana sudah mulai di sana, besar-besaran pula. Ia masuk kebun jagung, urus air, itulah bentuk konkritnya.
Dalam hubungan dengan pertanian, bagaimana Gereja dalam hal ini fungsionaris pastoralnya masuk kebun, sawah, peternakan, tambak ikan, juga pesisir pantai untuk berpastoral di sana? Jangan sampai pastornya masuk ke sana untuk tagih uang iuran saja dan tak pernah ada di sana untuk memberkati benih, memberkati panen. Kalau memberkati saja tidak, bagaimana bisa harapkan agar fungsionaris pastoralnya beri masukan, undang orang ahli untuk bantu petani, peternak, urus soal hukum dan gerakan massa untuk meminta pemerintah untuk perhatikan petani dan hak-haknya.
Contoh-contoh sederhananya?
Saya beri beberapa contoh sederhana ini: Kalau kita lihat Maumere atau Sikka ini, kelapanya bukan main banyaknya? Tapi coba pergi kunjungi dapur-dapur di sini? Minyak goreng apa yang ada? Pasti bukan minyak kelapa yang digunakan. Yang ada minyak bimoli. Dari apa bimoli dibuat? Kelapa sawit. Adakah kelapa sawit di sini? Tidak ada. Kalaupun ada hanya di depan kantor bupati lama itu. Jadi kita beli minyak bimoli, kita kirim uang yang sudah sedikit di Flores ini kembali ke Jawa, Sumatera, Kalimantan. Saya mulai dengan buat minyak kelapa. Bahannya ada, minyaknya untuk kita pakai sebagai minyak goreng yang sehat, minyak kelapa murni untuk sembuhkan banyak penyakit, dan ampasnya untuk makanan babi yang kadar proteinnya sampai 21 %.
Lain lagi dengan soal sawah untuk tanam padi. Saya ajak teman-teman yang piara ternak seperti ayam, babi, itik untuk tidak membeli beras untuk memenuhi kebutuhan mereka akan makan nasi, tetapi beli padi. Kenapa beli padi. Dengan beli padi, saya promosikan petani untuk usahakan padi sebagai produk pertaniannya. Dari padi, kita jemur lalu kita giling. Berasnya untuk kita jadikan nasi, dedak halusnya untuk makanan ternak dengan kandungan protein 12 %, lalu dedak kasarnya sebagai bahan utama untuk pembuatan pupuk organik. Belum lagi dedak kasar untuk buat batu merah untuk bangunan. Untuk petani sendiri, tanam padi kita padukan dengan ternak, dengan ikan. Batang padi setelah panen, potong dia, masukkan di gudang, buat dia jadi pakan ternak, jadi media kolam ikan. Belum lagi metode tanam padi dengan Sistem Intensifikasi (SRI). Bibit sedikit, air tak butuh banyak, pupuknya pake kotoran hewan, inseksisidanya dari daun-daun setempat, dan tak pusing dengan penyiangan. Belum lagi tentang konsep terpadu mengelola pertanian, peternakan dan perikanan di lahan yang sempit.
Contoh lain, tentang soal sampah. Keuskupan Jakarta itu buat gerakan hidup bersih dan sehat dengan menjadikan soal sampah sebagai pintu masuk pastoralnya. Kita bisa menjadikan juga soal sampah ini sebagai pilihan pastoral. Bagaimana bentuknya? Harus mulai dengan penyadaran tentu saja, lalu diikuti dengan memperlakukan sampah dengan benar demi hidup sehat. Pisahkan sampah organik, metal, plastik dan perbiasakan itu mulai di rumah tangga, di sekolah, di kantor. Buat sticker dan tempel di tempat sampah. Lalu yang organik, olah dia jadi pupuk, jadi makanan ternak, makanan ikan yang pada gilirannya kita nikmati hasilnya. Maka sampah jadi peluang usaha jadinya.
Bisakah ini dijalankan? Ya, pasti bisa, kalau kita ada massa, ada di lapangan. Saya tak bisa buat sebagai satu gerakan yang terlihat orang, karena saya bukan pastor paroki, saya tak punya umat. Lebih celaka lagi, kalau orang seperti kami ini dilihat tak bisa buat banyak karena ada di lembaga pendidikan. Makanya via sekelompok orang muda, dengan bantuan jaringan baik via telpon maupun via internet, saya sebarkan ide ini. Ada di mana? GUBUK PASTOR TANI. Di sana kita bisa bertemu, di sana kita lihat foto kegiatan lapangan yang sederhan, kecil tetapi jadi dan bermanfaat. Seperti SESAWI. Kecil memang, tetapi dalam pertumbuhannya, ia sudah memberi manfaat. Harapan saya tentu saja, kalau ia bisa bertumbuh jadi pohon, akan ada banyak burung, manusia, yang bernaung di sana.
Copyright © Ledalero, 02 April 2011, by Ansel Meo SVD
Salah satu bentuk Pelayanan yang nyata di tengah tengah masyarakat
ReplyDelete