KOMUNITAS BASIS DAN KEPEMIMPINANNYA
Mengapa Menjadi Pilihan Pastoral Gereja Dewasa Ini
(Pendahuluan)
Pembicaraan seputar komunitas umat basis dan model kepemimpinan pastoral yang diharapkan untuk dihidupkan menjadi topik yang hangat akhir-akhir ini. Topik ini bukannya bisa diaplikasikan dengan mudah dan tanpa halangan, paling kurang kalau kita menyimak tentang pro dan kontra sikap Gereja terutama hirarkinya dalam tiga dekade terakhir.
Kenyataan pro dan kontra ini hemat saya berkaitan dengan pilihan Gereja-Gereja lokal di seantero jagad ini yang mau dan telah menjadikannya sebagai sebuah pilihan pastoral Gereja, yang mengusahakannya sebagai cara berada Gereja di konteks masyarakatnya. Itulah sebabnya, kita sangat sering mendengar ungkapan bahwa komunitas basis adalah satu cara berada Gereja yang sadar konteks.
Bagian pertama pembahasan kita, coba melihat secara sekilas alasan atau latar belakang, mengapa Komunitas umat Basis serta model kepemimpinan yang diadopsinya menjadi sebuah pilihan perhatian. Saya katakan pilihan perhatian, justru berangkat dari kenyataan bahwa tema atau topik ini menjadi tema yang kita dalami dalam loka karya ini.
Kita akan mencoba melihat beberapa alasan atau latar belakangnya berikut ini, yang dimulai dari alasan yang lebih umum hingga pemahaman tentang konteks pastoral di mana kita hidup dan berkarya. Untuk kepentingan kita, saya akan mencoba menyampaikan tiga alasan mendasar yakni: (1) paham tentang Gereja dari Konsili Vatikan II, (2) situasi pastoral Asia dan mendesaknya pemberdayaan komunitas basis, dan (3) visi dan program pastoral Gereja lokal (Keuskupan Larantuka).
1.1. Konsili Vatikan II dan Kesadaran Diri Gereja
Perbincangan seputar komunitas basis dan model kepemimpinan yang diterapkannya sungguh tak bisa dipisahkan dari karya Roh yang bekerja dalam Gereja, terutama ketika para bapak konsili merefleksikan hakikat Gereja. Ada tiga poin penting yang hendak kita lihat di sini yakni (a) hakikat Gereja sebagai persekutuan, (b) focus yang diperbaharui dalam kaitan dengan tempat Sabda Allah dan (c) pengertian yang lebih pas tentang misi sosial dari Gereja.
1.1.1. Gereja pada dasarnya adalah Persekutuan dan komunitas basis menjadi satu bentuk aktualisasi Gereja di lingkungannya
Ungkapan dan deskripsi tentang Gereja yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II mengungkapkan hakikat Gereja dalam berbagai nama seperti Umat Allah, Tubuh Kristus, Mempelai Kristus, Kenisah Roh Kudus, dan juga Keluarga Allah. Semua ungkapan yang digunakan di sini saling melengkapi satu sama lain dan harus dipahami dalam terang misteri Kristus atau misteri Gereja dalam hubungannya dengan Kristus sendiri. Nampak sangat jelas bahwa paham tentang Gereja dalam semua ungkapan ini menjelaskan tentang hakikat Gereja sebagai persekutuan. Eklesiologi persekutuan ini sungguh merupakan ide sentral yang dimiliki oleh Konsili Vatikan II tentang Gereja.
Pertanyaan sekarang ialah bagaimana ungkapan persekutuan atau „communio“ itu dimengerti? Pada dasarnya „communio“ yang dimaksudkan Gereja itu bersumber pada persekutuan Allah Tritunggal, persekutuan antara Allah Bapa bersama Putera dalam Roh Kudus, yang di dalam Gereja diungkapkan melalui Sabda Allah dan sakramen-sakramen Gereja. Bagaimana hal ini dipahami. Orang Kristen masuk dalam persekutuan dengan Gereja melalui Sakramen Baptis yang sekaligus menjadi pintu masuk dan dasar persekutuan dalam gereja. Setelah itu Ekaristi menjadi puncak dan sumber kepenuhan hidup Kristianinya. Dan dalam Ekaristi inilah Gereja local sebagai persekutuan umat Allah merayakan kenangan akan Kristus yang sedang memberikan diriNya dan mencintai umatNya. Di sinilah, dalam berbagi roti dan anggur, semua yang mengambil bahagian di dalamnya dilebur menjadi Satu Tubuh Kristus. Persekutuan dengan Tubuh Tuhan dalam Ekaristi ini pula yang menghidupkan persekutuan yang intim dari seluruh umat beriman dengan Tubuh Tuhan yang adalah Gereja (1 Kor. 10:16).
Pendapat seperti ini disampaikan juga oleh Avery Dulles dalam penjelasannya tentang model kedua dari Gereja sebagai persatuan mistik. Ia menekankan bahwa Gereja dimaksudkan untuk menghantar manusia kepada persekutuan dengan yang Ilahi. Dia menambahkan bahwa di manapun Gereja hadir, para anggotanya sebenarnya telah bersatu dengan Allah. Dengan kata lain, di mana orang menjadi anggota Gereja, mereka sesungguhnya telah sebahagian dari tujuan eksistensinya, yakni bersatu dengan Allah.
Itulah sebabnya menurut Congar, eklesiologi persekutuan tak bisa diredusir hanya kepada persoalan-persoalan organisasi atau hanya kepada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kekuasaan. Masih dalam kaitan dengan ini, eklesiologi persekutuan ini menjadi juga dasar dari semua aturan dalam Gereja, secara khusus lagi berkaitan dengan hubungan yang benar antara kesatuan dan keanekaan dalam Gereja. Jadi dalam semua hubungan dan aturan, sesungguhnya eklesiologi persekutuan ini sangat menjamin tempat bagi partispasi dan tanggung jawab bersama dalam semua level pemerintahan dan pelayanan Gereja.
Masih dalam kaitan dengan pemahaman Gereja sebagai persekutuan, Konsili Vatikan II juga menemukan karakter lokal dari Gereja: bahwa Gereja mengaktualisasikan dirinya secara penuh dalam Gereja-Gereja local. Dengan demikian, Gereja lokal adalah Gereja dalam kepenuhannya dan Gereja universal sendiri dilihat sebagai persekutuan Gereja-Gereja lokal. Gereja yang demikian menjadi Gereja pribumi dan inkulturatip. Bila beginilah hakikat Gereja, maka kita sebagai Gereja harus menjadi satu Gereja yang rendah hati dan terus-menerus berdialog dengan budaya, dengan religiositas setempat. Secara singkat Gereja yang berdialog dengan semua aspek hidup orang, yang melaluinya Gereja telah berakar dan menjadi bagian dari keberadaannya.
Lalu bagaimana hubungan antara Gereja dan komunitas basis? Dewasa ini ketika berbicara tentang komunitas basis, kita akan selalu mulai dari aspek communio atau persekutuan, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Komunitas basis bukanlah satu pemahaman yang bertentangan dengan Gereja, melainkan adalah suatu pencarian akan satu bentuk baru atau ekspresi dari cara berada Gereja, yang lebih komunitarian dalam ekspresinya dan lebih terintegrasi dalam masyarakat, dan pada akhirnya kita boleh berharap untuk bias mengatasi anonimitas, kurangnya relasi dan birokrasi yang berbelit-belit dalam tubuh Gereja sendiri.
Jadi, visi tentang Gereja, mulai dari Gereja Universal hingga komunitas basis sebagai aktualisasi dan lokalisasi dari Gereja adalah satu visi tentang persekutuan dan partisipasi dari cara berada Gereja. Visi ini melibatkan semua unsur umat beriman dalam Gereja: kaum awam, kaum religius, imam dan uskup dalam karya dan pelayanan pastoral Gereja. Tentunya visi ini meminta juga gaya kepemimpinan baru, yakni kepemimpinan yang memampukan dan menganimasi semua.
1.1.2. Sabda Allah dan Tempatnya di Komunitas Beriman
Konsili Vatikan II juga mewariskan kepada Gereja sebuah pemahaman baru tentang tempat Sabda Allah dalam kehidupan Gereja. Tentang akses kepada Sabda Allah, dalam dokumen Dei Verbum, terutama dalam bab 4 tentang Kitab Suci dalam Kehidupan Gereja, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa akses kepada Kitab Suci telah terbuka lebar untuk semua orang Kristen. Karena itu Gereja sejak awal berdirinya telah menterjemahkan Kitab Suci ke dalam berbagai bahasa, dalam persetujuan dengan otoritas Gereja dalam kerja sama dengan semua saudara yang beriman Kristen. Semuanya usaha ini dimaksudkan agar Gereja terus membantu menghidupkan umat beriman dengan kekuatan Sabda Allah sendiri.
Kembalinya tempat Sabda Allah ke tangan kaum beriman, teristimewa ke tangan umat disambut gembira oleh seluruh Gereja dan ditanggapi dengan berbagai program dan kegiatan di tengah umat. Kebiasaan membaca, merenungkan Sabda Allah serta mensyeringkannya menjadi keseharian umat beriman. Berbagai kelompok pendalaman Kitab Suci bertumbuh kembang di mana-mana dan kemudian menemukan tempatnya yang strategis dalam komunitas basis seantero jagad.
Kehadiran komunitas basis di seantero jagad dengan berbagai nama dan bentuknya menempatkan Sabda Allah sebagai elemen penting dari kehadirannya. Hal ini rupanya juga menjawab pertanyaan untuk apa anggota komunitas bertemu kalau ekaristi tak bisa dirayakan dalam komunitas basis, oleh karena kurangnya pelayan tertahbis. Jadi pada salah satu unsur yang merekatkan persatuan dalam komunitas bukan saja diwarnai oleh kegiatan yang bernuansa sosial – ekonomis, tetapi juga yang rohani, hal mana dijawab dengan adanya tempat sentral Sabda Allah dalam pertemuan komunitas.
Ketika komunitas basis dihubungkan dengan Sabda Allah dan refleksinya, kita berbicara tentang kebiasaan berbagi pengalaman iman dalam komunitas sebagai satu karakter penting dalam hidup komunitas. Syering iman adalah suatu syering refleksi dari pengalaman akan Allah dalam hidup komunitas – tentang bagaimana Allah menyentuh setiap pribadi dan bagaimana pribadi-pribadi itu menanggapi sentuhan kasih Allah itu. Syering yang demikian sesungguhnya adalah satu tindakan yang mengungkapkan kepercayaan total. Ia mengungkapkan bagaimana orang mengundang orang lain ke dalam bagian dari kepribadiannya yang paling intim, di mana ia menyimpan berbagai nilai, kepercayaan, komitmen, keraguan dan juga berbagai pengalaman berkaitan dengan kesulitan dan tantangan. Pada saat anggota komunitas mendengarkan kisah dan pengalaman saudara-saudarinya, akan muncul apreasi dalam diri mereka akan bagaimana Allah bekerja dalam hidup setiap anggota komunitas beriman. Dengan demikian yang menjadi tujuan syering iman ini adalah mendengarkan bagaimana Sabda Allah dan KehendakNya yang selalu menyapa setiap orang secara baru dalam hidup komunitas.
Hingga di sini kita bisa mengerti kenapa Sabda Allah itu begitu vital perannya dalam kehidupan kaum beriman dan kehidupan komunitas beriman. Memberikan tempat yang penting bagi Sabda Allah dalam kehidupan komunitas basis dan berbagai bentuk komunitas hidup bersama mengaffirmasi tentang kehadiran Allah yang terus berkarya dalam sejarah kehidupan manusia beriman. Ia akan menolong orang untuk menyadari kehendak dan rencana Allah dalam hidupnya, dan menolong orang beriman untuk memperdalam relasinya dengan Allah. Karena sesungguhnya kehidupan komunitas beriman Kristen adalah satu perjalanan spiritual, satu perjalanan menuju Allah, dan perjalanan menuju kedalaman pribadi manusia itu sendiri.
1.1.3. Gereja dan Kesadaran akan Misinya di tengah Masyarakat
Satu hal lain yang menjadi alasan mengapa kita membahas komunitas basis dalam kaitan dengan Konsili Vatikan II adalah soal kesadaran akan misi yang diemban Gereja sebagai satu bentuk pengabdian sosialnya di tengah masyarakat. Dalam pembukaan konstitusinya tentang Gereja dalam Dunia Modern, Gaudium et Spes, bapak-bapak Konsili menyampaikan bahwa, “kegembiraan dan harapan, kecemasan dan duka dari manusia zaman ini, terutama dari mereka yang miskin dan menderita adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari semua pengikut Yesus.” Karena itu semua anggota komunitas beriman tergerak untuk menjadi solider dengan umat manusia dan diajak untuk menjadi peka dan mampu membaca tanda-tanda zaman serta menilainya dalam terang Sabda Allah, dan bersama-sama berjalan menuju Allah yang menghendaki kebaikan bagi semua.
Penegasan ini mengingatkan kita semua bahwa Gereja dalam diri para anggotanya memiliki tanggung jawab secara sosial untuk mengambil bahagian dalam usaha pembangunan masyarakat dan secara khusus memberikan perhatian lebih kepada mereka yang diabaikan atau dilupakan dalam masyarakat. Gereja masih berada dalam dunia. Karena itu para anggotanya mesti menyadari bahwa uapaya mencapai keselamatan hendaknya tidak bersifat tertutup dalam arti mengusahakan keselamatan diri sendiri tetapi mengusahakan agar semua manusia mencapai keselamatan.
Mgr. Timothy O’ Brien ketika mengamati Gereja Pasca - Vatikan II mengatakan bahwa semenjak Konsili Vatikan II, Gereja berjuang menjadi Umat Allah. Sambil menyitir konsep Yohanes tentang Allah adalah cinta dan Allah itu pada hakikatnya telah mengosongkan diriNya sendiri, maka kita anggota Gereja seharusnya menjadi orang yang siap untuk megosongkan diri kita demi mewujudkan Kerajaan Allah. “ Untuk mengosongkan diri kita sendiri, pertama-tama kita mesti mengenal kebutuhan satu sama lain. Untuk itu, Gereja dalam diri anggota-anggotanya harus menjadi Gereja yang terlibat.
Apa yang disampaikan O’ Brien di atas sejalan dengan pendapat Donal Dorr, ketika ia berbicara tentang dibutuhkannya satu spiritualitas yang seimbang bagi anggota komunitas basis. Ia mengungkapkannya dalam kalimat, “Berjalanlah dengan rendah hati bersama Allahmu – Mencintailah dengan ikhlas dan - Bertindaklah dengan benar dan adil.” Ajakan untuk bertindak dengan benar dan adil merujuk pada tata tindak anggota komunitas basis di tengah masyarakat, yakni bahwa kita semua dipanggil untuk menghidupkan dan membawa pesan Sabda Allah (Injili) dalam semua bidang kehidupan. Itu berarti bahwa khabar gembira harus dibawa ke tengah keluarga, ke tempat kerja dan ke pasar, dalam ruang kehidupan bermasyarakat sipil dan politik.
1.2. Situasi Pastoral Asia dan Mendesaknya Pemberdayaan Komunitas Basis
Situasi yang terjadi dalam Gereja universal juga dialami oleh Gereja di Asia, walaupun ada kekhususan karakter di sini. Ara Uskup Asia dalam konperensinya (FABC) melihat adanya tiga kunci utama meneropong situasi Asia dewasa ini.
1.2.1. Realitas tragis bahwa Asia ini adalah benua yang sangat besar dengan banyaknya jumlah orang miskin.
1.2.2. Asia adalah tempat lahir dan tempat bertemunya semua agama besar dunia dan berbagai aliran filsafat besar di dunia
1.2.3. Asia adalah tempat lahirnya budaya-budaya besar dunia dan dipandang sebagai ibu dari peradaban dunia.
Inilah tiga situasi pastoral khas Asia yang meminta kita juga menerapkan tiga pendekatan yang berhubungan dengan dialog, yakni : dialog dengan yang miskin, dialog dengan orang beriman dan berkepercayaan lain dan dialog dengan budaya. Dan ketiga pendekatan ini menuntut pula suatu cara berada Gereja Asia yang baru, suatu Gereja yang sungguh-sungguh meng-Asia.
Cara berada Gereja yang demikian berarti satu communio atau persekutuan; bahwa Gereja Asia adalah orang-orang yang berada dalam communio dengan Allah yang satu, bahwa Gereja Asia bersatu dengan Gereja universal dan ada dalam persatuan dengan orang Asia dan budayanya. Inilah yang disebut dengan communio, persekutuan dengan komunitas-komunitas orang beriman Asia.
Bila communio model inilah yang dibutuhkan, maka Gereja Asia harus berbicara, bertindak dan menghidupi suatu persekutuan dengan Roh Tuhan dalam suatu spiritualitas yang sungguh kontemplatif (membaca, mendoakan dan merenungkan Sabda Allah) dan sungguh apostolik (berkarya kerasulan). Dan cara hidup atau cara berada yang sepadan dengannya, bisa diungkapkan dalam suatu komunitas yang disebut dengan nama komunitas (umat) basis.
1.3. Visi dan Program Pastoral Gereja - Gereja Lokal (secara khusus Keuskupan Larantuka)
Bergerak ke situasi di mana kita hidup dan berkarya, kita juga menemukan ajakan yang sama untuk memberdayakan komunitas basis yang diserukan oleh Gereja Katolik Indonesia. Para Uskup bersama semua utusannya, dalam kesemapatan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2000 mengajak agar dalam mengembangkan komunitas-komunitas basis, hendaknya diperhatikan semangat keterbukaan karena bertolak dari kenyataan bahwa kita hidup dalam masyarakat dan budaya yang majemuk. Karena keterbukaan merupakan sikap yang menentukan untuk selalu membaharui diri, membangun persaudaraan sejati serta semakin menghadirkan Kerajaan Allah melalui perjuangan keadilan, kebenaran dan kesetaraan jender. Sidang ini sesungguhnya merupakan sebuah momen yang berlangsung untuk mensyukuri Yubileum Agung Tahun 2000 serta kesempatan bagi para gembala di negeri ini untuk menggumuli arah Gereja memasuki Millenium III.
Ajakan para Uskup Indonesia dalam sidang tahunannya ini sesungguhnya mengakomodasi berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh berbagai Gereja lokal di negeri ini yang telah jauh-jauh hari memilih komunitas basis sebagai satu pilihan pastoral yang lebih menyapa umat. Sebelum dilaksanakannya SAGKI 2000, para uskup Regio Nusa Tenggara dalam pertemuan pastoralnya yang ke lima di Ruteng, Keuskupan Ruteng pada bulan Agustus 1999, telah menegaskan supaya merayakan Yubileum Agung dengan mengembangkan tema pembebasan dan pertobatan.
Menindak lanjuti ajakan pertemuan pastoral regio Nusa Tenggara ini, Keuskupan Agung Ende pada Juli 2000 dalam kesempatan Musyawarah Pastoral IV merayakan Yubileum Agungnya dengan mengadakan sidang pastoral lima tahunannya. Musyawarah ini kemudian menghasilkan arah dasar dan strategi pastoral keuskupan Agung Ende memasuki milenium III kekristenan dengan menegaskan Pastoral Pembebasan dan Pemberdayaan sebagai arah dasar dan strategi pastoralnya. Muspas IV dan kemudian MUSPAS V tahun 2005 dan MUSPAS VI tahun 2010 Keuskupan Agung Ende ini menempatkan pembebasan dan pemberdayaan komunitas basis serta kepemimpinan pastoralnya sebagai strategi untuk mencapai pelayanan pastoral yang lebih menyapa umat.
Setelah semua konteks yang lebih luas di atas, kini kita melihat alasan mengapa lokakarya dengan tema Kepemimpinan pastoral umat basis ini diadakan. Dugaan saya ialah karena kita sadar konteks, di mana kita berada dengan segala tuntutan dan tuntunannya. Gereja keuskupan Larantuka tidak tinggal diam. Melalui repelita demi repelitanya, Keuskupan ini telah menjawabi persoalan pastoral dengan berbagai pendekatan sebagaimana nampak terbaca dalam arah dasar pastoral keuskupan ini.
Berhubungan dengan Komunitas Basis Gerejani, keuskupan Larantuka menjelaskan dalam pendasaran teologis visi dan misinya sebagai berikut. “KBG bukan sekedar nama atau istilah, melainkan Gereja yang hidup bergeark dinamis dalam pergumulan iman. Ia akan memberi wajah baru hidup menggereja yang mampu berbela rasa dengan saudara yang miskin dan tertindas. Dengan KBG [ ... ] Gereja diharapkan bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan perannya dalam menggarami dunia dengan lebih baik.
Dengan pandasaran teologis visi ini, Gereja Keuskupan Larantuka menjadikan Pastoral Komunitas Basis sebagai salah satu program pastoral Keuskupan. Dalam arah dasar pastoralnya tentang program yang satu ini dinyatakan, “Sudah menjadi komitmen kita untuk menjadikan komunitas basis-komunitas basis di paroki-paroki kita menjadi basis yang kuat dari kehidupan gereja lokal di keuskupan ini.” Hal ini dinyatakan sebagai kelanjutan dari program Repelita III pastoral keuskupan ini, sebagai berikut, “Kita lanjutkan program pemberdayaan para pemimpin basis [...] Kesadaran dan pemahaman terhadap pentingnya hidup berkomunitas hendaknya kembali dibangun dan ditanamkan dalam hati umat kita melalui program-program penyadaran.”
Semua yang diangkat di atas sebagai alasan mengapa kita memberikan perhatian pastoral kepada komunitas basis dan model kepemimpinannya, memberikan kepada kita dasar yang cukup kokoh untuk menjelaskan tema tentang Kepemimpinan Pastoral Komunitas Basis. Dan materi yang disampaikan dalam lokakarya ini diharapkan menjawabi kebutuhan kita semua akan satu cara berpastoral dalam cara berada yang baru dalam Gereja yang lebih sadar konteks.
Bandingkan. O’ HALLORAN, James, Signs of Hope, Developing Small Christian Communities. (New York: Orbis Book, 1991), 26. Menarik untuk memperhatikan bagaimana ia menjelaskan persoalan di sini. Di bawah judul “Gereja sebagai Persekutuan”, dia memberikan pendasaran atas dasar trinitaris darui Komunitas Basis. Dia menulis, <>.
TILLARD, J.M.R. OP., Church of Churches, the Ecclesiology of Communion. (Minnesota; The Liturgical Press, 1992), 37.
DULLES, Avery, SJ, Models of the Church, A Critical Assessment of the Church in All Aspects. (Dublin: Gill and Macmillan Ltd, 1987), 58.
Bdk. CONGAR, Yves, Power and Poverty in the Church, (translated by Jennifer Nicholson). (Baltimore: Helicon, 1964), 40 - 79. Pada bahagian kedua dari buku ini, Congar memaparkan tentang Perkembangan historis dari Kekuasaan dalam gereja, mulai dari Katolik pada masa Para Martir dan Monasteri sampai pada masa kini. Pada kesimpulannya, dia menulis, Komunitas atau ecclesia-lah yang pertama-tama dilihat, baru sesudah itu perhatian diberikan kepada kuasa “potestas” dari kepalanya. Hal pertama yang dilihat ialah bahwa komunitas itu terdiri dari laki-laki dan perempuan, baru setelah itu susunan strukturnya dan organisasinya. . . " (halaman 77)
SYNOD of Bishops 1985, The Church in the Word of God celebrates the Mysteries of Christ for the Salvation of the World. Final Report to the Synod, written by Cardinal Godfried Daneels, Archbishops of Malines, Brussels, dalam East Asian Pastoral Review, Vol. XXIII, No. 1, (Manila: EAPI, 1986), 17 - 21. Bandingkan juga CONGAR; Yves, Blessed is the Peace of My Church, (translated from the French by Salvator Attanasio), New Jersey, Dimension Books, 1973), 76; ketika dia menulis bahwa "Hirarki dan Paus sendiri bukan berada di atas komunitas tetapi ada di dalam komunitas. "
SDEGFRIED Wiedenhoefer, "Ecc1esiologia," in SCHNEIDER Theodor (editor), Nuovo Corso di Dogmatica, Vol. 2 (Brescia: Editrice Queriniana, 1995), 104.
Pernyataan Akhir dari Sidang, "Evangelisation in Modern Day Asia", Statement and Recommendations of the First Plenary Assembly, Taipei, Taiwan, 27 April 1974, dalam ROSALES, Gaudencio and AREVALO C.G., For All Peoples of Asia, Vol. 1, FABC Documents from 1970 to 1991, (Manila: Claretian Publications,1997), 14.
See, SDEGFRIED Wiedenhoefer, "Ecc1esiologia”, 160
Lihat SOFIELD, Loughlan, Rosine Hammet dan Carroll Juliano, Building Community: Christian, Caring, Vital.(Indiana: Ave Maria Press, 1998), 123-130.
Gereja yang terlibat dalam konsep O’ Brien dimaksudkan untuk selalu berkembang dalam tiga bidang ini yakni (a) mengembangkan pemahaman bahwa kita ini terbatas, (b) mengubah struktur diri kita sebagai tanggapan atas situasi sosial, budaya dan politis dewasa ini dan (c) menemukan identitas kita sebagai Gereja dalam identitas dan misi Yesus Kristus sendiri. Lihat O’ BRIEN Timothy, Mgr.and Margareth Gunnel, Why Small Christian Communities Work. (California: Resource Publication, Inc., 1996), halaman 28-37.
DORR, Donal, Spirituality and Justice. (Dublin: Gill and Macmillan, 1984), hal. 8-18. Ungkapan di atas dijabarkannya dalam tiga ajakan berikut, yakni setia kepada Allah dan kehendaknya (hubungan personal dengan Allah), solider satu terhadap yang lain (aspek hubungan interpersonal) serta peka dan terlibat dalam kehidupan masyarakat luas (dalam hubungan dengan kepentingan publik).
Panitia SAGKI 2000, Gereja yang Mendengarkan. Jakarta: Panitia SAGKI 2000, 2000), halaman 5-6. Sidang ini mengambil tema “Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru.”